Mengapa Orang Batak Cocok Banyak Menjadi Pengecara
Tapi kalau dipikir-pikir, kok bisa ya, orang Batak bisa begitu identik dengan profesi ini?
Pada saat Presiden Joko Widodo berkunjung ke Kampung Tua Huta Siallagan, Desa Ambarita, Kabupaten Samosir yang ada di area Danau Toba, Sumatera Utara pada Rabu (31/7/2019), dia diberi tahu alasan mengapa banyak orang Batak berprofesi sebagai pengacara.
“Ini adalah kampung yang konon menjadi titik awal sejarah tegaknya hukum di Samosir dan Sumatera Utara pada zaman dahulu,” ucap Jokowi saat itu.
Jokowi bertemu dengan keturunan ke-17 Raja Laga Siallagan, Gading Jansen Siallagan. Gading pun menunjukkan ‘Batu Persidangan’.
Situs ini berupa meja dan kursi yang disusun seperti lingkaran, Millens. Di tempat inilah raja menjalankan pengadilan bagi siapa saja yang melanggar hukum adat.
Selain raja, di batu ini duduk saudara-saudaranya, penasehat orang yang didakwa, penasehat korban, serta penasehat dari kerajaan. Penasehat yang terdiri dari tiga orang inilah yang kini dikenal sebaai pengacara.
Selain soal ‘Batu Persidangan’, sebenarnya ada alasan lain mengapa banyak orang Batak berprofesi sebagai pengacara.
Salah satunya adalah budaya ‘Koyo’ atau jika diartikan dalam Bahasa Indonesia adalah kebiasaan berargumen atau bersilat lidah. Tradisi ini muncul dari kebiasaan orang Batak yang suka nongkrong bareng dan membahas banyak hal.
Ditambah dengan watak orang Batak yang keras, mereka pun berani untuk mempertahankan argumennya setiap kali adu pendapat.
Hal ini tentu cocok untuk diterapkan dalam profesi pengacara yang memang harus pandai berargumen, meski tentu saja harus sesuai dengan hukum yang berlaku.
Jadi, karena budaya ini, banyak orang Batak yang akhirnya percaya diri untuk merintis karier sebagai pengacara.
Comments