Lelucon di Balik Bencana
Siklon tropis seroja yang memporakporandakan NTT meninggalkan aneka kisah. Nada dasarnya pasti minor karena lagu utamanya adalah duka dan derita. Namun sering ada lelucon di balik itu. Bencana memang tidak cukup dihadapi dengan muka asam dan air mata. Karena harapan bisa lahir juga oleh sukacita dan penghiburan bahkan oleh lelucon yang sarkastik.
Warga di Desa Teunbaun, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, NTT merasa 'aneh' dan kesal dengan bantuan yang diberikan oleh Pemkab Kupang. Mengapa? Karena bantuan yang mereka terima itu hanya berupa satu butir telur, sebungkus mi instan, dan satu kilogram beras. Sejumlah warga korban bencana menilai hal itu sebagai bentuk penghinaan terhadap mereka. Bahkan seperti suatu lelucon. Bagaimana cara membagi sebutir telur, sebungkus mie instan dan sekilo beras untuk orang dalam satu rumah? Yang lebih prihatin lagi bantuan itu diberikan dua pekan setelah terjadi bencana, di saat warga juga sudah menerima bantuan dari pihak lain. Sudah terlambat diberikan, malah jumlahnya bikin 'geli' saja. Kira-kira demikian.
Lalu, peristiwa ini menjadi viral. Diwacanakan dan dinarasikan berulang-ulang. Tentu sesuai selera yg punya mulut dan punya android. Saya sampai mendapatkan pesan WA, apakah betul ada berita semacam itu? Saya hanya bisa katakan itu bukan hoax walau banyak yang bilang cuma lelucon. Dalam arus komunikasi massa terkait ini, terbentuklah dua arus besar. Ada yang kontra dan masih ada yang pro. Tentu dengan perspektif masing-masing.
Mari kita telisik lebih dalam. Bagi yang kontra, argumentasinya lebih banyak mempersalahkan Pemkab Kupang. Bahkan mereka menggoreng-goreng barang ini dalam tacu politik hingga gosong dan hangus. Yang dipersoalkan adalah kelambanan pemerintah setempat mengeluarkan jurus tanggap bencana, lelet mendapatkan data para korban, secara sengaja mempermalukan warga dgn bantuan semacam itu. Manajemen tanggap bencana di Kabupaten Kupang disorot bahkan dibully. Bagi pihak yang kontra dgn 'lelucon' di atas, Pemkab Kupang dinilai tidak serius mengurus bencana dan kehilangan 'hati' bagi para korban bencana di Teunbaun.
Sedangkan yang 'pro' atas respons Pemkab Kupang membangun argumentasi di atas asas minus malum. Daripada tidak sama sekali, lebih baik membantu warga walaupun nilainya menjadi 'lelucon'. Sebutir telur, sebungkus mie, sekilo beras adalah tanda perhatian yang sama rata sama rasa. Kebijakan macam itu diambil karena mempertimbangkan berbagai hal. Transportasi menuju desa Teunbaun sulit. Jalanan rusak, jembatan putus, jaringan komunikasi amblas. Semua menjadi rumit. Lalu urusan bencana bukan cuma di situ. Di tempat lain di wilayah Kabupaten Kupang pun banyak korban menanti uluran tangan dan rangkulan kasih pemerintah. Bantuan yg menjadi 'lelucon' itu tentu bukan yg pertama dan terakhir. Pemerintah pasti sudah memikirkan skemanya agar segera mengalir lagi bantuan berikut dgn kuantitas yg lebih layak. Bagi yang pro, mempersalahkan pemerintah melulu adalah keputusan yg kurang tepat. Tetapi membangun sinergi bersama pemerintah adalah jalan terbaik. Karena bencana ini adalah bencana kita. Bukan semata bencana pemerintah.
Foto Viral Bantuan Pemkab Kupang |
Di luar lintasan hiruk pikuk diskursus sosial media, hanya warga yg menjadi korban dan Pemkab Kupanglah yg tahu perspektif dan disposisi batin masing-masing. Ada warga Teunbaun yg merasa 'dihina' dengan bantuan semacam itu. Mereka berada dalam perspektif korban (victim). Di sisi lain, Pemkab Kupang tidak punya niat untuk menghina rakyatnya sendiri, apalagi dalam situasi musibah seperti ini. Dari perspektif pemberi bantuan (donor), Pemerintah sudah pertimbangkan berbagai aspek dgn adanya bantuan itu. Sedangkan dalam teropong pengamat, peninjau, analis dan netizen, 'perspektif suka-suka' yg diterapkan. Suka-suka komentar, suka-suka membuat penilaian, suka-suka menganalisis. Toh yg merasakan dampak bencana bukan yang 'suka-suka' itu. Lalu, apa makna di balik 'lelucon' ini? Saya merenung cukup lama soal ini. Dalam perspektif saya, ada beberapa hikmah dari balik 'lelucon' ini. Pertama, bencana yg kita hadapi harus dikelola dalam kebersamaan, melalui sinergi dan kolaborasi berbagai pihak, antara pemerintah dan dunia usaha, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga agama dan partai politik, kampus dan LSM. Bencana tidak bisa diselesaikan dalam perpecahan dan disintegrasi. Dukunglah pemerintah untuk bekerja menyelesaikan tugasnya. Dukung juga dgn kritik yg membangun. Bukan 'ngoceh' dan 'ngeyel' yg tidak penting dan sekadar cari kambing hitam diantara domba-domba. Kedua, manajemen bencana kita memang masih perlu banyak pembenahan. Respon tanggap darurat misalnya bagaimana. Juga soal birokrasi yg tanggap bencana. Apalagi masalah data. Ini rumit. Sudah hampir 3 pekan pasca bencana, namun data para korban belum klir. Ditunjang lagi dgn sistem koordinasi yg 'lamban'. Ujung-ujungnya para korban menderita kekurangan bantuan, sementara bantuan tertumpuk di Posko-Posko karena rumus ada data ada bantuan. Padahal di saat seperti itu, perut-perut tidak bisa dikompromi agar jangan lapar dan haus karena data belum masuk Posko tanggap bencana.
Ketiga, 'lelucon' Teunbaun adalah tamparan bagi tata kelola manajemen bencana di NTT. Kita show force dan sibuk konferensi pers soal bencana di seberang lautan, namun musibah di depan mata tidak disentuh. Berapa jauh Teunbaun dari Oelamasi? Berapa jarak Teunbaun dari gedung Sasando? Satu telur, satu mie, satu kilo beras adalah 'lelucon' terbaik buat para pejabat daerah kita (gubernur hingga bupati dan walikota), juga untuk para wakil rakyat yang merakyatnya musiman. Semoga bapak-bapak dan ibu-ibu bisa tertawa lepas karena lelucon Teunbaun ini. Dengan itu, imunitas bisa bertambah sehingga ada tenaga baru untuk 'meluapkan' janji lagi di muka rakyat.
Keempat, dalam kisah biblis Kristen, Tuhan Yesus memberi makan lima ribu orang hanya dengan modal 2 ekor ikan dan 5 ketul roti. Setelah mereka makan sampai kenyang, malah masih ada sisa 12 bakul penuh. Kita tidak cukup menertawakan lelucon Teunbaun. Tidak cukup mengalirkan banjir kritik. Tidak juga hanya dgn membela diri berlapis-lapis. Kita harus bisa membuat 'mujizat' di Teunbaun. 1 butir telur, 1 bungkus mie dan sekilo beras mesti dilipatgandakan sebanyak mungkin. Cukup sudah mengalirkan kritik. Alirilah bantuan ke sana. Cukup sudah saling mempersalahkan. Bukalah kran-kran bantuan ke sana. Cukup sudah membela diri. Buka hati dan rendah hatilah meminta maaf di hadapan korban. Setiap kita bisa melakukan mujizat untuk Teunbaun.
Lelucon Teunbaun mungkin masih aktual di ruang sosial. Mungkin juga masih laris dalam gorengan tacu politik. Mudah-mudahan lelucon itu bisa memberikan pesan bahwa bencana apapun bentuknya perlu juga dikelola sebagai 'lelucon kehidupan' agar di balik musibah sekalipun kita masih punya semangat untuk menertawakan hidup. Karena hidup yg tidak pernah ditertawakan adalah hidup yg menjenuhkan.
Comments