MBARASE Dari Kecamatan Paga Makanan Khas Flores

Desa Paga yang terletak sekitar 45 kilometer arah barat dari Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka,Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, terkenal memiliki pantai berpasir putih nan indah. Daerah di pesisir selatan itu juga dikaruniai hasil laut yang agak unik bagi kehidupan warga setempat dan sekitarnya. Mereka biasa menyebutnya dengan ikan se,bentuknya semacam teri, ikan laut berukuran kecil. Ikan yang berwarna merah ini, oleh warga setempat, disebut mbarase. Itu sebabnya, banyak orang juga mengenal ikan ini dengan sebutan mbarase.

Banyak yang menyukai ikan ini setelah diolah atau digarami. Ikan se yang sudah diawetkan dengan garam disebut wogi. Wogi banyak disukai, termasuk oleh kalangan pejabat di tingkat provinsi maupun pusat, dan kerap dijadikan buah tangan ke luar Flores, seperti Jawa,Kalimantan, bahkan luar negeri. Setelah menangkap ikan se segar, warga setempat langsung membubuhi dengan garam biji dan mengendapkannya sekitar dua hari. Setelah seluruh garam mencair, ikan se dimasukkan ke dalam botol kemasan plastik air mineral ukuran 600 mililiter. Tampilan ikan se setelah bercampur garam tersebut menjadi penuh lumuran cairan agak kental berwarna cokelat.

Dulu sekitar tahun 1970-an, ikan se (wogi) disimpan dalam bambu lalu ditutup kulit jagung untuk dijual. Harga wogi kala itu berkisar Rp 250, sedangkan saat ini Rp 20.000 per botol kecil. Soal rasa, itu yang selalu bikin orang ketagihan. Wogi dari botol bisa langsung dimakan. Akan tetapi, agar lebih afdal, wogi mesti dicampuri sambal yang diulek dengan bawang putih, bawang merah, daun kemangi, dan jeruk nipis. Kalau wogi sudah tersaji dilengkapi sambal itu, makan dengan nasi putih pun jadi. Bahkan, saat mencoba, Anda bisa minta tambah karena benar-benar menggugah selera.

Ikan se juga enak dimakan untuk padanan pisang bakar, singkong rebus atau singkong goreng. Masyarakat di Paga biasa menyantapnya seperti itu waktu sore hari. Menu ini juga disuguhkan untuk menghormati tamu. Ekonom Frans Seda, yang dilahirkan di Kampung Lekebai, Kecamatan Mego, yang terletak sekitar 15 kilometer dari Paga, juga sangat menyukai wogi. Saat masih hidup, ia selalu mengonsumsinya.


Dalam perjalanan dari Ende ke Sikka, Kamis (17/2) sore, pekan lalu, Kompas menyaksikan di tepi-tepi jalan di wilayah Paga banyak dipajang botol-botol wogi. Ada juga yang dijual di kios atau warung setempat. Pada pertengahan Februari lalu tidak banyak lagi ikan se yang ditangkap. Ikan itu hanya muncul selama Oktober hingga Desember. Pada Januari mulai jarang, bahkan terkadang tidak ada lagi.

”Ikan se biasanya muncul pada Oktober-Desember, tetapi tidak setiap saat. Kedatangannya selalu ditandai dengan munculnya bulan yang berbulat penuh. Saat itu, warga bisa mendapat 5-6 karung besar,” kata Philpus Woga, warga Desa Paga. Sudah ratusan tahun Ia mengaku, penangkapan ikan se telah menjadi tradisi yang berlangsung sejak ratusan tahun silam.

Mereka yang menangkap ikan bukan saja warga pesisir, melainkan juga dari pegunungan. Ribuan manusia akan tumpah ruah di pantai. Kerja sama yang indah pun terjalin kompak. Biasanya yang perempuan memegang sere, alat untuk menampung ikan. Sere sejenis corong besar ini terbuat dari anyaman rotan. Sang suami atau pria berdiri agak di tengah laut lalu menghalau ikan se ke arah pantai (darat) dengan menggunakan dua tongkat di tangan kiri dan kanan. Ribuan ikan itu pun berlarian ke darat dan masuk sere. Mereka yang menghalau ikan akan berdiri pada kedalaman laut sekitar 1,5 meter.

”Akan tetapi, khusus bagi orang yang sedang hamil tidak boleh mencari ikan se. Suaminya juga tak boleh. Ini larangan keras, pamali, sebab kalau dilanggar bisa keguguran atau si ibu bisa mati waktu melahirkan. Dampak buruk lainnya, jika pantangan dilanggar, ikan se yang tadinya datang begitu banyak akan cepat berkurang seakan pergi jauh. Hasil tangkapan pun tidak ada lagi,” kata Rusmini Seku, warga Paga yang lain. Rusmini sering mengirimkan wogi sebagai buah tangan untuk kenalan dan sanak suadaranya di luar Kabupaten Sikka. Tidak sedikit pula yang memesan.

”Wogi tahan lama, bisa disimpan sampai satu tahun, sebab sudah dicampur garam,” kata Silvester Bhoka, yang sering mengirim wogi ke Jakarta dan Kalimantan untuk anaknya dan saudaranya yang tinggal di sana. ”Di Maumere dan Ende, para warga Tionghoa senang sekali dengan wogi. Mereka sekali beli selalu dalam jumlah banyak. Para turis asing yang datang ke Flores juga selalu memburu wogi,” ungkap Silvester.

Marieta Sombo (30), warga Paga yang lain, mengaku masih memiliki stok wogi. Sebab, saat kemunculan ikan se beberapa waktu lalu, ia menangkap minimal 100 botol. ”Pengalaman tahun ke tahun, wogi selalu habis terjual,” ungkap Marieta. Pengolahan wogi biasanya dilakukan para ibu dan perempuan. Dari usaha musiman tersebut, setiap keluarga bisa menambah penghasilan jutaan rupiah.

Ikan se disinyalir muncul juga di Desa Ndete,Kecamatan Magepanda, cuma bentuknya agak besar dan rasanya tawar. Jika diolah, jenis ini cenderung hancur. Begitu pula sejenis ikan se yang ditangkap di Larantuka, Kabupaten Flores Timur. Disana, pengolahannya tidak seperti yang dilakukan warga Paga, tetapi ikan itu dijemur.

Kompas pun mencoba membeli sebotol wogi diPaga. Setibanya di Maumere, Kompas meminta bantuan seorang petugas restoran hotel tempat Kompas menginap untuk mengolah menjadi sambal. Selang beberapa menit, sepiring wogi, lauk, dan nasi putih tersaji. Lidah begitu tersentuh. benar-benar nikmat. Pantas banyak orang senantiasa ketagihan setelah mencicipi wogi. Ikan ini terasa renyah dan gurih. Rasanya bukan seperti ikan asin umumnya, melainkan seperti menyantap daging kerang. Namun, yang sedikit membuat saya penasaran, yang enak itu sebetulnya wogi atau sambalnya? ”Kami biasa membuat sambal dari wogi, Pak. Memang seperti ini padanannya,” ujar seorang karyawati restoran hotel. Pantas kalau begitu.

Comments

Popular posts from this blog

Live Streaming Final UEFA Champions League Manchester City vs Inter Milan

Live Streaming Real Madrid vs AC Milan

Live Streaming Wolves vs Liverpool